Saksi aksi ahli bernama Fahrurrazi dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang kesepuluh perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (Alkes RSUD) Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak Tahun Anggaran 2012 digelar di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Jalan Urai Bawadi, Kota Pontianak, Selasa (24/4/2018) pukul 11:10 WIB.
Ketiga terdakwa juga dihadirkan yakni pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yekti Kusumawati, Pemilik PT Bina Karya Sarana sekaligus Direktur PT Mitra Bina Medika Suhadi dan Direktur Utama PT Bina Karya Sarana Sugito.
Fahrurrazi merupakan pegawai Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Pusat. Ia mengemban jabatan sebagai trainer, assesor, advisor dan pemberi keterangan keahlian.
Ia mengaku dihadirkan dalam perkara ini lantaran dimintai pendapatnya terkait dugaan kerugian negara senilai Rp 13.419.616.000 berdasarkan audit BPK RI dari pagu anggaran sebesar Rp 35 Miliar.
Dalam kesaksiannya, Fahrurrazi menegaskan proses pengadaan dalam proyek ini tidak berjalan sebagaimanamestinya seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah dan perubahannya.
Proses pelaksanaan barang dan jasa tidak dilaksanakan dalam persiapan yang matang.
“Ada kondisi bahwa proses pengadaan harus segera dilaksanakan. Prosesnya dipercepat sehingga dalam pengadaan tidak rapi. Akhirnya, ada kebingungan pada saat melaksanakan pengadaan, seperti dalam penyusunan spesifikasi, penyusunan Harga Perkiraan Sementara (HPS) dan rancangan kontrak,” terangnya saat persidangan.
Perencanaan yang tidak matang berdampak ada celah yang memungkinkan pihak-pihak tertentu mengambil manfaat. Ia mengakui berdasarkan informasi yang diterima dari penyidik kepolisian bahwa terdapat indikasi-indikasi penyelewengan dalam perkara ini.
“Satu diantaranya adanya pengalihan pekerjaan dari pemenang lelang ke pihak lain. Sebenarnya, tidak boleh mengalihkan pekerjaan dan sudah diatur dalam Pasal 87,” terangnya.
Jika ternyata pengalihan pekerjaan terpaksa dilakukan karena sesuatu hal mendasar dan urgen, maka pemenang lelang harus lapor ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Lalu, PPK akan melakukan penilaian untuk mengantisipasi barang baru yang ditawarkan berbeda dengan dokumen penawaran sebenarnya. Pengalihan harus dilaporkan ke PPK dan mendapat persetujuan ke PPK. Hal yang tidak boleh adalah dilakukan pengalihan sembunyi-sembunyi,” jelasnya.
Selain indikasi pengalihan pekerjaan, ada indikasi lain yakni terjadi persekongkolan horizontal yang dilakukan para penyedia yang ikut pelelangan. Misalnya, dalam proses lelang ada tiga penyedia yang memasukkan penawaran, namun sebenarnya tiga penyedia itu adalah pemilik yang sama dan saling mengatur.
“Yang menjadi hal signifikan dari hal ini adalah adanya persekongkolan horizontal. Seharusnya, tercipta pengadaan kompetitif, persaingan sehat dan negara mendapat banyak manfaat dari pelaksanan pengadaan, namun ternyata menjadi kerugian atas persengkokolan ini,” paparnya.
Ia juga mendapat informasi dari penyidik kepolisian bahwa ditemui beberapa produk tidak sesuai kontrak dalam pelaksanaan pengadaan ini. Kendati barang sudah datang, dipergunakan dan berfungsi baik sesuai kebutuhan, namun di aspek lain perlu ditekankan apakah ada kerugian terkait keuangan negara dalam hal ini.
“Jika ada kerugian negara, tentu menjadi masalah,” timpalnya.
Pada prinsipnya, pemeriksaan barang dan jasa yang datang apakah sesuai spesifikasi dalam kontrak menjadi tanggung jawab Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Jika tidak sesuai kontrak, maka PPHP akan menolak dan membuat laporan terkait hasil pemeriksaan.
“Laporan hasil pemeriksaan itu disampaikan ke Pengguna Anggaran (PA). Begitu juga ketika barang sesuai spesifikasi dalma kontrak, maka PPHP membuat berita acara serah terima dan melaporkan ke PA. Kalau sudah disampaikan ke PA, barulah jika sesuai maka dilakukan pembayaran,” tuturnya.
Dalam proses pengadaan, PA membentuk organ-organ untuk memudahkan pelaksaaan proyek. Organ-organ yang dibentuk seperti PPK, Pokja Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan PPHP. Saat ditanyai Majelis Hakim terkait apakah PA harus ikut bertanggungjawab dalam proses pengadaan alkes ini, Fahrurazi menegaskan bahwa harus dilihat secara spesifik apakah ada kontribusi PA dalam pelaksanaan kegiatan ini secara langsung.
“Seperti contoh, apakah ada intervensi atau tidak. Terkait perkara ini, PA perlu dimintai pertanggungjawaban. Dalam proses dimintai pertanggungjawaban itulah nantinya memerlukan alat bukti,” tandasnya.
Mantap lah… saha heula atuhnya 🙂
Sumber:
https://www.google.com/amp/pontianak.tribunnews.com/amp/2018/04/24/saksi-ahli-lkpp-ada-persekongkolan-horizontal-dalam-proyek-pengadaan-alkes-rsud-ssma-tahun-2012
Recent Comments