BUKAN PENGKRITIK BUKAN PULA PENCINTA
Oleh: Zulkarnain Lubis
(Ketua Dewan Guru Besar, Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian, dan Ketua Program Magister Agribisnis UMA)

Dalam hubungan mengkritik dan rasa cinta, ada empat kategori manusia, yaitu pengkritik tanpa cinta (unloving critics), pencinta tanpa kritik (uncritical lovers), pengkritik dengan cinta, dan terakhir adalah bukan pengkritik bukan pencinta. Selama ini, pihak yang dikritik sering terjebak di antara pengkritik tanpa cinta (unloving critics) dan pencinta tanpa kritik (uncritical lovers) dan hanya fokus kepada keduanya, sehingga muncul ungkapan “kasihannya pemimpin yang terperangkap antara pengkritik tanpa cinta (unloving critics) dan pencinta tanpa kritik (uncritical lovers)”.
Pengkritik tanpa cinta adalah orang-orang yang menyampaikan kritik bukan dengan maksud baik tetapi mereka sesungguhnya adalah pembenci yang mengkritik atas dasar iri dengki dan busuk hati, isi kritiknya tentunya lebih banyak berupa caci dan maki serta tujuan mengkritik adalah untuk mencari-cari kesalahan, untuk menjatuhkan, mempermalukan, menurunkan harga diri dan martabat seseorang yang dikritik, atau untuk menjatuhkan mental dan rasa percaya diri yang dikritik. Kritik biasanya disampaikan sebagai ungkapan ketidaksukaan, ujaran kebencian, dan dengan cara tidak terpuji.
Sementara pencinta tanpa kritik adalah para pengagum, pemuja, penggemar, dan yang mengidolakan pemimpin, dimana karena kecintaan dan kekaguman mereka membuat mereka tidak bisa lagi menilai secara objektif dan tak sanggup lagi melihat sisi negatif, kelemahan, atau kekurangan sang pemimpin. Para pencinta tanpa kritik ini akan bereaksi dan memberikan perlawanan jika ada pihak lain yang mengomentari, mempersoalkan, menyentil, mengkritik, memprotes, menyanggah, apalagi sampai mengecam dan menyerang idola mereka. Kedua kategori ini sama-sama tidak baik bagi seorang pemimpin, tentu saja yang paling baik adalah kategori ketiga yaitu pencinta dengan kritik (critical lovers) atau pengkritik dengan cinta (loving critics) yang menyampaikan kritik secara tulus, yang melakukan kritik atas dasar cinta dari hati, yang dilakukan dengan beretika dan adil, serta dengan tujuan yang suci, sehingga perlu disambut dan diapresiasi. Kritik demikian akan memberi makna positif dan sebaiknya diterima sebagai masukan serta sebagai cermin untuk mengetahui kekurangan seorang pemimpin dan untuk mengukur dirinya sampai di mana program dan kebijakannya telah berjalan.

Namun dibanding ketiga kategori di atas yang paling sulit diidentifikasi adalah mereka yang masuk kategori keempat yaitu bukan pengkritik bukan pula pencinta, mungkin tepat disebut sebagai not lovers and not critics. Kelompok keempat ini adalah mereka yang tidak mengkritik dan tidak pula mencintai. Mereka adalah orang-orang yang sesungguhnya tidak menyukai apalagi mencintai pimpinannya tetapi tampil seolah-olah mencintai, suka memberikan puja dan puji serta pasti tidak akan mau memberi koreksi apalagi mengkritik. Para bukan pencinta dan bukan pengkritik ini adalah orang yang mencari aman dan nyaman, serta mencari yang menguntungkan bagi dirinya. Tidak ada rasa cinta memang tidak serta merta berarti menjadi pembenci, tapi tanpa ada rasa cinta artinya dia hanya bekerja sekedar menjalankan perintah dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, tidak ada kritik berarti dia tidak perduli dan tidak mau tahu tentang apa yang terjadi pada organisasi, institusi, atau lembaga tempat dia bekerja atau bergabung, dia juga tidak perduli tentang kebijakan atau keputusan yang diambil atasan atau pimpinannya. Dalam hatinya, sepanjang haknya dipenuhi, dia tidak akan bereaksi. Namun yang lebih berbahaya dari orang-orang tanpa kritik dan tanpa cinta ini adalah mereka yang pura-pura cinta, pura-pura sayang sama atasan dan pimpinan, pura-pura sayang sama perusahaan atau lembaga tempat dia bergabung, atau pura-pura sayang sama rekan sesama pekerja atau anggota organisasinya, namun dibaliknya ada niat yang tidak bagus, seperti ingin berkuasa, ingin memanfaatkan, dan ingin menyingkirkan dengan cara-cara menyalah, menyimpang, dan curang. Orang-orang ini adalah para penjilat, pengkhianat, tukang fitnah, munafik atau hipokrit.

Untuk para penjilat, mereka selalu berusaha membuat “asal bapak senang”, untuk itulah para penjilat ini akan melakukan apa saja asalkan pimpinan yang dijilatnya menjadi tenang, senang, aman, dan nyaman. Namun semua itu dilakukan bukan demi loyalitas dan kesetiaan, tetapi untuk mendapatkan keuntungan dan kepentingan pribadi, yaitu fasilitas, materi, kebanggaan, kenikmatan, dan kedudukan. Mereka akan terus menerus menyanjung dan menyenangkan pimpinannya melalui pujaan dan pujian. Namun sesungguhnya pujaan dan pujian tersebut dilakukan tidak didasarkan atas ketulusan, tetapi dengan pamrih untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya dan sering juga dilakukan dengan mengorbankan pihak lain termasuk dengan mencelakakan dan merugikan orang lain melalui fitnah, adu domba, dan informasi palsu. Para penjilat yang sering juga dijuluki sebagai “tukang ambil muka” dan “angkat telor” ini juga selalu menjadi pembisik ulung dan memiliki mulut manis untuk memberi informasi kepada atasan atau pimpinannya yang ditambahi pula dengan ”bumbu penyedap” agar informasinya meyakinkan sekaligus menyenangkan atasan atau pimpinannya.

Memang penjilat bukanlah pekerjaan terhormat, penjilat adalah kedudukan yang tidak bermartabat bahkan pembangkang lebih terhormat daripada penjilat, sejelek-jelek pembangkang, dia masih punya prinsip, harga diri, dan berani menanggung resiko, sedangkan penjilat hanya mencari tempat aman di balik ketiak seseorang. Ada lagi ungkapan yang sarkas yang menyindir dan menghinakan perbuatan para penjilat, yaitu “jika pandai menjilat adalah syarat mendapatkan tempat terhormat, jangan heran jika para anjing menjadi juaranya”. Memang sebaiknyalah kita menjaga diri untuk tidak menjadi penjilat yang merupakan salah satu kelompok tanpa cinta dan tanpa kritik. Jadi silahkan saja berupaya dengan atasan menjadi dekat tapi tidak harus menjilat, gemarlah menolong tapi tidak harus dengan menggonggong, silahkan berbuat apapun demi duit tidak harus menggigit, karena jika demikian, perilaku kita tidak jauh berbeda dengan anjing yang memang suka menjilat, menggonggong, dan menggigit.

Selanjutnya dari seorang penjilat akan sangat mudah berkembang lebih buruk lagi menjadi seorang pengkhianat. Seperti kata bijak bahwa “pengkhianat berawal dari watak penjilat, penjilat berawal dari watak penjahat, penjahat berawal dari watak sekarat, jadi pengkhianat adalah orang yang wataknya sudah sekarat dunia akhirat”. Seperti disinggung di atas bahwa dalam rangka membuat “asal bapak senang”, penjilat bisa saja mengorbankan kawan seiring, menjauh dari kesetiaan, merusak persahabatan, dan mengingkari janji terhadap teman seperjuangan yang merupakan penanda seseorang sebagai seorang pengkhianat. Bagi para pengkhianat, pengkhianatan setiap saat bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri dan meraih keuntungan yang lebih besar, bisa dengan menelantarkan, memojokkan, menjual informasi, membuka rahasia, dan menjatuhkan orang lain bahkan mungkin atasannya. Oleh karena itu, jangan heran jika di setiap masa dan di setiap generasi, akan dijumpai sifat alami sebagai pengkhianat seperti Brutus pada zaman Romawi, Durna dan Sengkuni dalam cerita pewayangan, Abdullah bin Ubay bin Sahlul pada masa Rasulullah, ataupun Wang Jingwei, tokoh pengkhianat dari China yang berkhianat terhadap negaranya.

Penjilat juga dekat dengan pembohong dan tukang fitnah. Fitnah dilakukan untuk memantapkan posisinya agar terus bisa sebagai penjilat terhadap atasannya dengan menunjukkan dirinyalah seolah-olah yang terbaik di mata pimpinannya, dengan cara mengumbar cerita buruk mengenai orang lain, fitnah juga dilakukan demi membuat “ásal bapak senang”, khususnya mengenai orang-orang yang berseberangan dengan atasannya. Oleh karena itu, penjilat selalu memiliki prinsip “galahnya harus lebih panjang dari galah orang lain”, dan bila galahnya lebih pendek, dia akan lebih suka memotong galah orang lain daripada memanjangkan galahnya sendiri, asalkan galahnya tetap yang paling panjang.

Penjilat juga cenderung menjadi orang munafik atau dikatakan juga sebagai hipokrit yang selalu berpura-pura, yang pura-pura baik, pura-pura jujur, pura-pura hormat, pura-pura cinta, dan pura-pura perduli, dan pura-pura perhatian, yang ditandai dengan berbeda antara apa yang diucapankannya dengan apa yang ada dalam hatinya dan apa yang menjadi tindakannya. Kita mengenal tiga tanda utama orang munafik yaitu bila berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanat ia berkhianat. Seperti telah diuraikan di atas, penjilat suka menyanjung dan memuji seseorang terutama pimpinannya tetapi sering mencaci maki serta menyumpah serapahi ketika sedang tidak bersama dengannya. Makanya seringkali orang munafik disebut juga sebagai orang yang bermuka dua. Sikap bermuka dua ini adalah pertanda utama dari seorang penjilat.

Biasanya munafik, pengkhianat, tukang fitnah, dan penjilat berada pada tubuh yang sama atau jikapun berada pada tubuh yang berbeda, mereka saling mendukung, makanya pantas saja jika dikatakan bahwa “seorang ‘pembohong’ akan dibela para ‘pendusta’, dikelilingi para ‘penjilat’, disanjung para ‘penghianat’, dan dido’akan oleh para ‘munafik’”. Oleh karena itu akan sangat berbahaya apabila kita berada di tengah-tengah orang-orang toxic tersebut, apalagi mereka berkolaborasi untuk mempertahankan diri dan saling mengambil keuntungan bagi diri masing-masing, maka orang-orang yang ada di sekeliling mereka yang akan jadi korban dan menderita akibat sifat, sikap, dan kelakuan mereka.

Jadi sebaiknya para pemimpin perlu mengapresiasi dan menghargai para pengkritik dengan cinta, perlu mengantisipasi mereka para pengkritik tanpa cinta, perlu mendidik mereka yang mencinta tanpa kritik, serta perlu berhati-hati dan mawas diri terhadap mereka yang tidak mengkritik dan tidak pula mencintai karena sangat mungkin mereka adalah toxic yaitu para penjilat, tukang fitnah, pengkhianat, hipokrit, dan pendusta yang sangat berbahaya bagi seorang pemimpin. Bagi yang akan menjadi pemimpin, silahkan berambisi dan berusaha untuk menjadi pemimpin tapi jangan menjadi pemimpin munafik atau hipokrit dan bekerjasama dengan para penjilat, tukang fitnah, dan pembohong untuk mewujudkan ambisinya. Bagi masyarakat luas sebisanya hindari dan menjauhlah dari pemimpin yang munafik yang dikelilingi oleh para penjilat, dibela oleh para pendusta, dikawal oleh para tukang fitnah, dan dipertahankan oleh para pengkhianat. Naudzubillah min dzalik.